[CERPEN] Can't Let Go

You know you love someone when…

Kalau kamu ngasih suapan terakhir bekal kamu ke dia
Kalau kamu selalu mendukung dia (walau dia tak tau)
Kalau kamu selalu memuja dia walaupun dia sedang terpuruk
Kalau kamu berani kasih contekkan ke dia
Kalau kamu rela kerjain tugas dia
Kalau tatapan kamu selalu hilang ketika ngobrol sama dia
Kalau perutmu selalu merasa aneh ketika nama dia disebut
Kalau kamu memikirkan dia di pikiran dalam jelang tidurmu
Kalau nama dia selalu tersebut dalam isak tangis doamu setiap malam
Dan yang paling terakhir yang bisa kamu lakukan Mengikhlaskan dia kemanapun dia pergi, karena kamu sudah tak bisa menjangkau dia. Dan kamu akan selalu mendoakan kebaikan dia, dimanapun, dan dengan siapapun.

Aku membelalakan mata. Serius aku tulis begini? Aku kembali baca ulang, dan akhirnya aku geleng-geleng kepala. Sebeginikah rasanya kalau susah merelakan orang? Aku baca lagi daftar yang sudah kubuat…. Ironisnya ternyata aku sudah melakukan semua yang ada di daftar tadi, kecuali hal yang terakhir itu. 

Mengikhlaskan dia.

Aku mendengus kesal.

***

“Sebenernya lo ada apa sih sama Tiur sih, Gra?” tanyaku ketika pelajaran lagi gabut. Suasana kelas ramai, guru diam di depan menunggu anak-anak menyalin dan aku kepalang bosan dengan pelajaran ini.
Dan aku juga kepalang cemburu sama orang yang duduk di sebelahku kini.

Agra hanya diam. Kepalanya menunduk dan mendongak. Tangannya mencatat. Kulihat catatan dia, kosong. Semakin kesal aku dibuatnya. Kugoyangkan bahunya. “Coy! Jawab kalo nggak gue gak bakal denger semua omongan lo lagi,” ancamku.

Akhirnya Agra angkat bicara, “Gue sama Tiur lagi deket kok. Doain aja.” Aku diam, bengong. Nggak ngerti mau jawab apa.

“Kalian udah jadian gitu?” I’m digging so much information right now. I don’t care if my heart is bleeding. And my curiousity is bigger than my heartache.

“Belom sih, doain aja,” aku hanya tersenyum. Sesungguhnya di dalam diri hati sudah remuk badan rasanya mau rontok, dan berguling di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu sedih pilihan.

I knew about it. Now, my heart is bleeding more than before.

Doaku selama seminggu ini nggak terkabul. Hari ini akhirnya hujan deras! Benar-benar deh. Ceritanya mau pergi ke tempat les buat belajar. Besok ulangan. Tapi hujan deras begini. Yasudahlah, mau gimana. Kutunggu di depan teras sekolahan.

Sekolahan sudah sepi, nggak ada yang bisa kuajak bicara. Akhirnya aku menerawang saja. Memikirkan semua hal yang mau terlintas di otak. Dan terlintaslah pula satu nama pemicu perut melilit dan mata mendadak kabur: Agra.



“Pernah rasanya lo suka sama orang tapi orang itu nggak tau?” kata Agra sambil mengaduk-aduk jus pisangnya, aku yang sedang memakan kwetiau rebus mendadak keselek. Dan tenggorokanku rasanya terbakar. Salah strategi ini aku menambahkan rawit kebanyakan tadi.

Aku terbatuk dan segera minum air. Malu kali dikiranya aku se-mellow itu.

Padahal iya.

“Lo kenapa? Nih minum punya gue aja,” Agra menyodorkan jus pisangnya.

“Ah, nggak usah kok. Makasih. Sini, gue jawab pertanyaan lo. Ya pasti pernah lah. Rasanya ya…. sakit lah. Kita mau kasih tau, tapi kita terlalu deket sama dia. Dan kita nggak mau karena rasa yang kita pendam sendirian itu buat jarak diantara kita ngejauh gitu…” rasa sakit menjalar ke sekujur badanku ketika kata terakhir terucap. Sakit karena apa tak bisa aku jelaskan secara pasti. Mungkin karena aku sedang menjelaskan diriku sendiri.

“Lo kok jelasin ginian jago amat? Lo pernah ngerasain sama siapa? Sama gue lagi jangan jangan sekarang…. Hehe,” Agra tersenyum lebar, aku hanya balas tersenyum datar sambil memutar bola mata. Rasanya mulai sesak ini dada.

“Ah nggak ah, lo mah GR banget. Eh gue cabut duluan ya, kebelet pengen ke toilet,” kataku buru-buru bangkit. Daripada makin sakit di sini mending boong deh.

Dan sisa waktu sebelum bel masuk aku habiskan dengan duduk di kursi pinggir lapangan sambil menatap nanar ke kolam ikan. Orang-orang yang melewati kolam melihatku dengan pandangan iba, seakan-akan aku akan bunuh diri ke dalam kolam ikan itu.

Setetes….

Dua tetes….

Ah bodo ngalir aja terus.

“Woy, bengong aja!” seseorang menutup mataku. Aku diam saja. “Loh kok basah pipi lo? Kenapa?” dia melembutkan volume suaranya dan berpindah ke sampingku.

Aku diam saja. Berusaha menenangkan diri, walaupun pasti sia-sia. Akhirnya aku menangis dalam diam saja. “Gue salah apa emangnya?” kata dia kembali bertanya. Bukannya semakin reda, tangisku semakin banjir.
Plis jangan drama adegan ini. Jangan sampai ada adegan kejar-kejaran di sini.

Dia kembali bertanya. “Nih ya, gue tanya sekali lagi. Salah gue apa?” He’s clueless. About his friend that love him more than she loves herself. Aku hanya menggeleng. Kami berdua ada di dalam diam sampai ada derap langkah mendekat. Aku agak menjauh dari dia.

Ternyata yang datang si Tiur. Oh orang yang dekat dengan Agra. Oh ya dia cantik. Oh aku ralat, dia cantik sekali. Aku kalah saing. Pantas dia tak mau melihatku selama ini. Akhirnya, makin sedihlah aku.
Tiur menyapa Agra dan mengobrol sejenak. Aku nggak mau dengar dengan rinci, tapi intinya adalah pulang bareng. Aku diam saja sambil melihat pohon yang dihantam air hujan.

“Gue cabut duluan ya,” sahut Agra. Disampingnya ada Tiur yang tersenyum ke arahku. Aku hanya diam. Nggak tahan, akhirnya aku terabas saja air hujan. Nih biar makin drama: Biarkan tangisku ini larut bersama air hujan yang tumpah dari langit. Biar puas!

Menenggelamkan diri dalam kesibukkan memang hal yang paling menyenangkan. Rasanya bisa lupa sejenak dari orang yang pernah buat kita sakit sangat lega.

Sudah dua bulan sejak Agra dan Tiur jadian. Aku masih saja sendiri. Masih sayang sama Agra. Iya aku berusaha lupa. Tapi semuanya kan butuh waktu. Apalagi yang tambah buruk, setelah mereka berdua jadian, Agra dan aku menjauh.

Yeah, I know my position. Akhirnya aku harus belajar mengalah dan tersisih, kalah dengan yang baru. Kadang, yang selalu ada kalah dengan apa yang kita anggap bagus dan terlints di depan mata. Padahal belum tentu dia selalu ada.

Lagipula, aku kan hanya teman. T-e-m-a-n.

***

Akhirnya, aku sampai difase terakhir perasaanku kepada Agra. Merelakan dia pergi. Mungkin bukan dia yang pergi, aku yang pergi. Perasaanku akhirnya telah pergi. Sama seperti kata grup Tangga yang kira kira gini: Cinta gak hilang secepat saat cinta itu datang.

Ditinggal Agra sama saja seperti disilet perlahan-lahan dan ditaburi garam di atasnya. Perih memang. Tapi lama kelamaan rasa perih itu sudah terbiasa buatku. Aku sudah kebal. Kebal dengan rasa sakit di hati. Hatiku dingin. Aku siap menerima siapapun saat ini. Bahkan, kalau Agra datang lagi….

Gak deng, aku juga belum tau aku kuat atau nggak.

PING!!!

Hapeku menjerit, ternyata… Arga mengirim pesan kepadaku. Menanyakan kado yang tepat buat Tiur.
Ternyata memang susah melupakan seseorang yang pernah menancapkan sebuah pisau yang sangat dalam. Walau sudah tercabut, bekasnya masih ada, dan….

Aku masih sakit, ternyata.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topik Nggak Penting Tapi Penting: Mini Heart Attack

Emangnya Cinta Butuh Alasan?

Teman-Teman Gahul