[CERPEN] Can't Let Go Part 2
Karena respon pembaca yang luar biasa (aslay) yang bilang bahwa Can't Let Go yang pertama masih nggantung, nih gue lanjutin. Selamat baca ya!!
You
took my hand
You
showed me how
You
promised me you’d be around
Yeah
yeah, that’s right.
(Pink-Who
Knew)
Kalau aku bisa mengurung diri dan membom rumah
sekarang, maka akan aku lakukan senang hati. Gimana sih rasanya kita masih
sakit tapi pura-pura bahagia di depan dia? Gimana sih rasanya kita yang masih
ada perasaan dengan dia tapi kita harus pura-pura tak peduli dan bahkan
mendukung keputusan dia?
“Ini bagus gak sih? Cocok nggak buat Tiur?”
“Hmmmmh….” Jawabku malas sambil lirik kiri-kanan ke
jejeran baju-baju.
“Kok lo kaya nggak niat gitu sih?” Agra ngambek
dengan responku yang saingan dengan orang yang sedang asyik nonton acara teve
pagi hari, lama dan malas-malasan.
“Ya semuanya bagus kok, kan Tiur juga bagus pake
baju apapun nggak kaya gue,” aku menekankan di kata gue. Bodo amat dengan rasa cemburu yang kuluapkan mentah-mentah di
hadapan Agra.
Seolah tak mengacuhkan omonganku Agra masih terus
nyerocos, “Kalo yang ini gimana? Yang ini juga cocok nggak?” dia menunjuk ke hanger yang telah digantungi baju-baju
cantik.
“Iya semuanya bagus. Ayo ah kita pulang. Capek gue,”
sahutku sambil mengentak-ngentakkan kaki di lantai. Akhirnya Agra memilih
sebuah baju, dress biru muda cantik
selutut dengan aksen pita. Aku membayangkan Tiur yang memakainya. Baru
membayangkan saja perutku sudah mulas.
Aku memang kalah saing.
Setelah Agra membayar baju tersebut di kasir, kami
berjalan beriringan. “Habis ini lo mau kemana?”
“Gue nggak tau, tapi masih males pulang ke rumah
sih,” aku berusaha sesantai mungkin. Padahal di dalam hati sudah ingin berjalan
cepat dan menghentak-hentakkan kaki di mall tersebut, kalo bisa seluruh mall
tersebut bersama Agra runtuh menjadi abu.
“Mau nonton aja?” Agra menawarkan. Aku hanya
mengangguk karena malas balik ke rumah, Mama membuat arisan. Rasanya malas
harus bersalam-salaman dengan ibu-ibu sekitar yang selalu mengomentari
pertumbuhanku.
“Kayanya kemaren masih aku gendong loh!”
“Udah kuliah apa masih SMA?” malas sekali aku harus
meladeni sambil tersenyum basa-basi dari ruang tamu sampai ke kamar. Jadi aku
putuskan mengikuti apa kemauan Agra.
“Mau nonton apa?” ujar petugas karcis bioskop dengan
ramah. Senyumnya lebar menyambut kami yang terlihat seperti pacaran. Uhuk.
“Film yang rame apa ya, Mbak?” Agra tampak malas
melihat jejeran jadwal yang terpampang rapih di belakang petugas karcis bioskop
ini.
“Oh, kalo yang paling banyak ditonton sih yang ini,
Mas,” petugas karcis bioskop yang masih belum berkurang derajat kesenyumannya
itu menunjuk beberapa daftar di komputernya.
Agra menunjuk sebuah film yang sama sekali aku tak
tau. Aku hanya iya-iya saja. Agra mengeluarkan dompetnya. “Nanti gue ganti ya,
Gra,” kataku setengah berbisik.
“Ah lo apa-apaan sih. Ngapain juga,” kata Agra
sambil tersenyum.
Siaga
satu, perut saya melilit.
Sepanjang film diputar aku hanya duduk tegak seperti
orang memakai bedak sangat tebal, yang kalau bergeser tak sesuai porosnya maka
seluruh lapisan bedakku akan rontok semua. Sementara Agra tertawa, menegakkan
duduknya, menyender santai, dia sangat mengikuti alur film tersebut. Kadang tak
sengaja jemari kami bersentuhan, aku merasa ada sesuatu yang sama dengan waktu
itu, waktu yang sangat lama. Rasa itu masih sama.
--
“Film apasih ini?” aku bertanya sambil setengah
berlari masuk ke dalam teater bioskop. Film sudah dimulai lima menit yang lalu
dan kami berdua telat. Agra masih belum berani juga memacu motornya lebih
kencang dari 40 km/jam walau sudah aku marahi karena kalau tidak kami berdua
bakal ketinggalan jadwal menonton film.
Karena film itu (sepertinya) baru masuk ke bioskop,
orang-orang membanjiri teater bioskop tersebut. Akhirnya kami duduk di paling
depan, harus mendongak terus ke atas. Di tengah jalannya film, tiba-tiba ada
sesuatu yang menggenggam jariku. Ternyata Agra. Rasanya nyaman yang aneh segera
menjalar ke seluruh permukaan tubuh.
Kami bergenggaman tangan sampai film usai.
--
Lampu teater bioskop perlahan diterangkan kembali,
aku bangkit dan menunggu Agra yang masih beres-beres. “Lo laper atau nggak? Kalo
nggak kita langsung pulang, soalnya Nyokap gue udah sms,” kata dia sambil
menyejajari langkahku.
“Wah gue nggak enak nih sama Nyokap lo, yaudah ayo
kita pulang aja,” aku langsung bergegas ke parkiran tempat Agra memarkirkan
motornya.
Di perjalanan aku hanya diam, malas berbicara dan
tak berani memeluk pinggangnya. Berani
berani amat peluk pinggang! Situ siapa?
Setelah mengucapkan terima kasih, aku masuk dan
melihat Mama sedang dalam proses akhir beres-beres. Aku bertanya apakah ada
yang bisa kubantu lagi, Mama berkata bahwa lebih baik aku yang beristirahat. Aku
salim sama Mama dan langsung
membersihkan diri.
***
Fragmen-fragmen kenangan dan lirik lagu yang sudah
ku repeat entah ke sekian kalinya
berkejaran dibenakku. Pusing mulai mendera, tetapi aku terlalu capek buat
mengganti lagu.
You
promised me you’d be around….
“Emang kalo misalnya ada salah satu di antara kita
suka satu sama lain gimana?” Agra menodongkan pertanyaan tersebut ke aku yang
mendadak gelagapan.
“Nggak mungkin!” aku berbohong.
“Semua itu kan bisa aja kejadian….” Agra menatap
mataku tajam. Aku mengalihkan pandangan ke jejeran pot bunga di parkiran.
“Tapi kalo semua itu kejadian gimana?” aku mulai
memancing.
“Kita nggak bisa ngelawan pastinya. Karena perasaan
itu sering banget nggak sejalan sama kehendak pikiran kita. Apalagi orang kaya
lo begitu,” jawab Agra nyelekit.
“Gue jadi kepikiran deh…, kalo misalnya salah satu
di antara kita jadian sama yang lain. Apa kita tetep bisa bertemen kaya begini?”
“Ya pasti bisa lah. Percaya sama gue,”
Dasar
pembohong besar.
***
If
someone said three years from now
You'd be long gone
I'd stand up and punch them out
Cause they're all wrong
I know better
Cause you said forever
And ever
Who knew
Mereka percaya bahwa kami berdua takkan pernah
bersama. Aku selalu menangkisnya. Selalu meyakinkan mereka dan aku sendiri
bahwa dia akan berkata apapun yang terjadi kami berdua akan tetap berteman.
Walau
di dalam hati kecil aku gak yakin apa itu beneran bakal kejadian atau enggak.
“Gue kasih dua pilihan; kalian jadian atau you two
become strangers. Habis hubungan relasi kalian terlalu jauh dari sahabat dan
jauh dari kata pacaran,” Nathan menatapku prihatin.
“Tapi dia bilang selalu ada kalau dia nanti udah gak
sendiri lagi,” aku dengan beraninya membela pernyataan Agra yang belum tentu
valid tersebut.
“Udah gue ingetin ya, jangan nyesel di akhir nanti.”
Nathan beranjak dari tempat sebelahku karena guru pelajaran selanjutnya telah
datang.
Agra datang di belakang guru pelajaran. “Dari mana?”
tanyaku sambil mengambil buku dari dalam tas.
“Ketemu Tiur. Dia pindahan dari SMA sebelah,” kata
Agra. Belum sempat aku mengendalikan diri, dia menghantamku dengan sebuah
pernyataan lagi.
“Dia cantik, ya,”
I
guess I just didn't know how
I was all wrong
They knew better
Still you said forever
And ever
Who knew
***
Tak bisa aku bombardir perasaanku ke Agra sampai
mati, gak mungkin aku ungkapin ke dia, akhirnya aku memakai istilah menyedihkan
itu.
Secret
admirer.
Terkutuklah buat yang menciptakan kata kata sedih
nan nelangsa yang menunjukkan betapa menyedihkannya menjadi seseorang yang
jatuh cinta diam-diam dan tidak akan terbalas. Terkutuklah kata kata sedih
macam: kalo lo bener-bener sayang sama
orang, lo bakal ngerelain dia sama siapapun.
Karena nyatanya, hanya dia yang aku mau. Aku butuh
dia di samping aku.
Tapi sayangnya nggak bisa.
Oh, iya aku baru ingat aku membuat kata-kata sedih
macam itu sebelumnya. Tapi bodo amatlah. Aku masih nggak bisa rela dia dengan
yang lain. Dan yang paling menyedihkan adalah jarak di antara kami berdua yang
semakin renggang. Itulah yang paling aku sedihkan.
Benar kata Nathan, kalau sepasang sahabat tak
bisalah dicampur dengan cinta. Persahabatan kalian bakal runyam dan tak akan
bisa kembali lagi menjadi sepasang sahabat. Aku baru menemukan beberapa fakta
bahwa sebagian besar orang yang menganggap diri mereka bersahabat tidak
bersahabat lagi, mereka cenderung akan menjadi orang asing yang memiliki
kenangan—stranger with memories.
Yeah
yeah
I'll
keep you locked in my head
Until
we meet again
Until
we
Until
we meet again
And
I won't forget you my friend
What
happened
***
Aku harus menutup lembaranku dengan Agra. Mungkin
aku akan sendiri. Mungkin aku akan benar-benar menjauh dari dia. Aku menyusun
rencana sedemikian rupa. Tujuan utamaku adalah agar aku bisa melupakan Agra.
Hapeku bergetar. Perasaanku mulai tak keruan.
Agra: Gue putus…. Gue harus gimana?
Aku mendesah panjang. Sepertinya perjuangan harus lebih panjang….
***
Semua usaha udah
gue lakuin buat bisa ngejaga perasaan dia. Gue udah coba buat ngejauh dari dia.
Tapi apa hasilnya? Gue nggak bisa sehari tanpa sapaan nggak penting dia di
chat. Gue takut gue bakal ngerusak semua ini. Sahabat jadi cinta itu hanya
omong kosong pencipta lagu. Kenyataannya apa? Nggak ada yang berhasil. Mungkin
ada, tapi sedikit.
Tapi sekarang gue
baru ngerti. Apa artinya jujur? Agak aneh rasanya bahwa pacar sendiri tau bahwa
kita suka bahkan sayang sama sahabat sendiri.
“Aku
liat, Gra. Semua yang terlihat di diri kamu nggak bisa bohong.” Tiur berkata dengan santainya di restoran
langganan kami.
“Sekarang
mau kamu apa?”
“Kita
udahan di sini aja, kejar apa yang kamu mau karena yang kamu mau bukan aku,
tapi dia,”
kata Tiur sambil tersenyum tipis. Dia pamit sama gue, semua selesai di situ.
Maybe I know where I have to go, she is
my harbour. Because I love her that much.
“Semuanya
pasti bakal ada resikonya, ditolak, diterima, dan sebgagainya. Jangan takut. Yang
perlu kita takutin sekarang gimana kita ngelakuin semua ini…. Karena kalau kita menyatakan perasaan
yang sebenarnya, kita sudah menang dari perdebatan sama gengsi dan hati serta
pikiran yang selalu bertentangan.” Ucap dia waktu gue mau nembak Tiur.
FIN.
Komentar
Posting Komentar