CERPEN - Can I Read Your Eyes?
Hai udah lama banget ngga ngeblog ya! Maaf banget, masa-masa SMA yang katanya dihabiskan dengan bolos dan socialize dengan orang malah dihabiskan buat belajar. Ya nasip lah. Buat masa depan huh. Untung libur semester. Ini ada cerpen. Enjoy!!
Can I Read Your Eyes?
I
Yeah I know you care
I see it in the way you stare
As if there was trouble ahead
and you knew it
I'll be saving myself from the
ruin
And I know you care
(Ellie Goulding- I Know You
Care)
Aku bahkan tak tau perasaanku
sendiri. Aku ingin kamu tetap berada di sisi. Tapi tak mungkin. Kamu punya yang
lebih penting dibanding aku. Tiba-tiba aku terpikir dia. Ada? Tak selalu. Aku
mencari? Tidak juga. Aku masih memikirkan dan mengharapkan kamu.
Tapi yang mengkhawatirkan, aku selalu nyaman ketika berada di dekat
dia.
Siang itu, panas menyengat,
tetapi awan mendung menggelantung di angkasa. Kantin hampir semuanya tutup.
Suasana liburan sangat kental terasa di sekolah. Tria harus datang demi
memenuhi permintaan Dewa, temannya untuk manggung di acara sekolah (yang pasti
bakal sepi).
“Tapi terserah lo kok, yang
jalanin kan lo bukan gue. Gue sama temen-temen selalu dukung lo,” tutup Badra
setelah memberikan kuliah umum tentang hubungan asmara yang berada diujung
tanduk. Kantin, seperti biasa. Busuk pengap memperangkap seperti akan meledak
dan hancur terbelah.
Same bull’s poop. Same crap. Same word. Same disclaimer. Sekarang
pun Tria masih nggak bisa berpikir dengan jernih kemanakah ia harus
melangkahkan perasaan dia. Ketika pacarmu cuekin kamu sekian lama dan datang
orang baru, mungkin sebagian besar ini yang akan kamu lakukan.
Kelimpungan pergi mencari saran
apakah yang harus mereka lakukan. Yang selalu berakhir dengan kamu yang semakin
bingung dan memutuskan untuk diam sampai menemukan ilham atau masalah tersebut
hilang sendirinya.
Begitulah Tria sekarang.
“Tria, ayo manggung sekarang,”
Ris, salah satu koordinator acara memanggil Tria agar segera bergegas ke panggung dan memulai
penampilannya.
Tria segera bergegas menuju
panggung ketika melihat Dewa serta teman-temannya mempersiapkan alat musik
untuk manggung. Untung Tria sebagai penyanyi di penampilan malang kali ini.
Sehingga tak perlu repot bersiap-siap.
Ketika naik ke atas panggung,
Tria terkesiap. Tak terlihat banyak orang yang menonton mereka. Dasar acara sekolah yang flop. Penontonnya
juga flop. Keterlaluan. Bahkan Tria bisa menghitung cepat berapa jumlah
mereka: lima belas. Tak kurang, tak lebih. Tria baru saja mau membuka mulutntya
ketika jumlah penonton bertambah satu.
Selain pacarnya yang sekarang, Rasta
yang bisa membuat dia sekaget itu untuk saat ini. Padahal tadi pagi dia mengaku
kepada Tria kalau dia nggak akan datang ke acara sekolah.
“Garing, nggak jelas,
pemborosan,” kata Rasta mantap.
Tapi buktinya dia berdiri di
sana, di bagian tengah penonton. Menganggukkan kepalanya mengikuti irama lagu,
matanya menatap Tria. Tria berusaha menatapnya balik, hanya tatapan mata Rasta tak terbaca. Begitu pula ekspresi
mukanya.
Karena memang hati seseorang
siapa yang tau. Bohong yang bilang bahwa mata mencerminkan hati. Kalau mata
sesusah ini dibaca, bagaimana dengan hati?
Buru-buru Tria menghilangkan
lamunannya barusan dan segera melanjutkan lantunan lagu.
II
But I’m in so deep.
You know I’m such a fool for you.
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha.
Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to,
Do you have to let it linger?
(The Cranberries –
Linger)
“Tadi bagus!” ucap Rasta jujur.
“Makasih ya udah dateng! Gue kira
gue bakalan manggung di depan guru-guru dan satu dua murid kuper yang emang
mendekatkan diri sama perpustakaan,” ujar Tria. Mereka berdua tengah menunggu
jemputan di bawah pohon. Ralat, hanya Tria saja yang menunggu jemputan. Rasta
sudah diijinkan membawa motor oleh orang tuanya.
Terjadi hening yang cukup lama
sampai hape Tria bergetar. Tria segera mengangkat, dan air mukanya langsung
berubah keruh. “Ya, mau gimana lagi lah,”
“Kenapa, Ri?” tanya Rasta sambil
menyedot bungkusan teh yang sudah habis. Srooooot.
Srooooot. Bunyi yang cukup mengganggu.
“Yang jemput gue sakit, dia aja
sekarang nggak bisa bangun dari tempat tidur. Gue sekarang bingung nih pulang
naik apa,” Tria menghentak-hentakkan kakinya di trotoar kesal.
“Lo ngode gue buat nganterin lo?”
kata Rasta yang disambut sikutan yang buat Rasta meringis.
“Nggak usah. Niatnya begitu, tapi
pas denger lo ngomong tadi membuat gue mengurungkan niat gue,” Tria melihat
tukang ojek yang biasanya mangkal di depan sekolah. Sepi.
“Ayo sini bareng sama gue!” paksa
Rasta. Tangannya menarik tangan Tria. Dan, kalau bisa menjelaskan perasaannya
seperti deskripsi novel roman dia akan menjelaskannya dengan kalimat: aku pun merasakan gelombang aneh yang
menjalar. Dan entah kenapa, jantungku berdebar keras. Dan ending dari kisah
tersebut biasanya adalah....
NO WAY.
Nggak mungkin. Ini hanya sekedar
kebaikan Rasta yang kasihan melihat temannya yang tengah menunggu seseorang
yang baik hati dan bersedia mengantarkannya pulang.
Teman? Mari kita runut ke
belakang.
“Kok dia serem banget sih
ngelihatin gue? Mukanya kaya jutek banget lihat kita berdua jalan. Padahal
cewek gue aja nggak segitunya,” Badra melirik ke arah Rasta yang tengah
mendelik tajam kepada dirinya dan Tria. Mereka tengah menikmati istirahat siang
sambil mengobrol apa saja karena ini kali pertama mereka selama seminggu ke
belakang.
“Lah, Rasta? Kata orang-orang dia
ada perasaan sama gue. Tapi gue udah kasih tau kok, kalo gue udah jadian sama
dia,” Tria melihat ke arah Rasta dan melambai. Yang dilambaikan mengendurkan
ekspresi mukanya dan melambai balik.
“Mana mungkin. Pasti dia cemburu.
Liat tuh muka udah kek bakso urat, bertonjolan kemana-mana. Gue kebetulan
sering perhatiin dia masang muka kenceng
gitu waktu lo ngobrol sama Angga,” Badra menyebut nama salah satu orang eksis
di sekolah.
“Tapi apa hak dia buat cemburu?
Jadian aja enggak. Cowok gue aja nggak segitu cemburunya.”
“Cowok posesif jaman sekarang mah
nggak pa-pa. Melihat pergaulan jaman sekarang yang segitu bahayanya, cowok kaya
dia patut buat dilestarikan. Lumayan, lo kalo ada acara malam ada yang perlu
dikabarin selain Nyokap, kan?”
“Sialan lo!”
“Harusnya lo bersyukur masih ada
yang perhatian sama lo. Cowok lo yang nun jauh di sana aja nggak nanya apapun
ketika lo sakit.”
Tria teringat ketika dia di-opname di Rumah Sakit beberapa bulan
yang lalu. Cowok itu nggak datang, atau bahkan nggak mengucapkan cepat sembuh.
Dia terlalu sibuk dengan rutinitas. Rasta juga enggak sih, Cuma ketika dia
telah masuk lagi Rasta jadi orang paling bawel yang pernah ia kenal.
Hatinya menghangat karena itu.
“Diem aja, Mbak. Naik lah ke atas
motor!” Tria kaget dengan ucapan Rasta yang membuyarkan lamunannya. Ia langsung
naik ke atas motor dan motor langsung melesat meninggalkan lingkungan sekolah.
Ia teringat sebuah hal ketika naik ke atas motor.
Aku nggak ada
yang jemput, sopir lagi sakit. Boleh bareng?
Read. 15:47
III
What if I fall and hurt myself
Would you know how to fix me?
What if I went and lost myself
Would you know where to find me?
If forgot who I am
Would you please remind me?
Oh, cause without you things go
hazy.
(Rosi Golan – Hazy)
Tria sudah sampai satu titik di mana ia sudah tak lagi peduli dengan statusnya yang sudah jadi pacar orang. Persetan
dengan status. Dia terlalu sibuk dengan urusan yang lain. Tria sadar dia bukan
nomor satu. Tria sadar dia tak pernah jadi alasan bahagianya. Tria sadar dia
sering tak diinginkan. Ia sudah sampai satu titik di mana ketika pacarnya
menjatuhkan dia dari tebing dia akan sangat bahagia dan berteriak, “Makan tuh,
gue nggak ketemu lo lagiiii!”
“Gue nggak mau dan nggak bisa
memutuskan sebuah simpul yang udah terjalin rapi. Simpul ini udah terlalu
rumit. Biar dia yang melepas simpul ini pelan-pelan. Toh gue udah nggak ngerasa
sakit lagi,” jawab Tria ketika direntet pertanyaan oleh Badra soal kenapa nggak putusin aja sih?
“Tapi sekarang lo lebih nyaman
sama siapa? Jangan sayang soal lamanya lo jadian. Sayang sama orangnya dong,”
Badra mengaduk-aduk minumannya gemas.
“Sama Rasta. Padahal dulu gue
nggak mengharapkan dia. Jujur. Tapi lama-lama ya otomatis kaya berasa kurang kalo nggak ada dia,”
“Jadi gimana...?”
“Gue bakal omongin ini sama
Rasta.”
“Jangan!”
“Apa yang lo bilang kan, semuanya balik ke gue. Karena gue yang
jalanin. Jadi, bye for now! Kita liat
perkembangan apa yang bakal kejadian,” Tria bangkit dan pamit.
“Dasar orang gila.”
Rasta dan Tria bertemu di sebuah
restoran. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan. Teh yang baru disajikan masih
mengepul uapnya. Mungkin sama ngebul
nya seperti perasaan Tria.
“Gue mau nanya sesuatu deh, Ta,”
tanya Tria. Matanya menatap lurus-lurus mata Rasta. Sekarang dia berharap dapat
membaca mata tersebut. Rasta mengangguk mengiyakan. Mukanya terlihat waspada.
“Gue udah tau semuanya dari
temen-temen. Muka lo ketika gue ngobrol
sama cowok lain. Bawelnya lo pas gue sakit. Gue jadi bingung. Perasaan lo ke
gue sekarang apa sih sebenernya?” Tria masih melihat Rasta. Ekspresinya agak
terkejut.
“Jujur aja nih langsung biar
nggak ada slek atau apapun. Lo boleh
jauhin gue abis ini atau apapun terserah lo. Gue sayang sama lo. Lebih dari sekedar temen. Dan what if I told you kalo gue udah berusaha lupain lo dengan deketin
tiga cewek? Semuanya gagal. Dan yang buat gue hampir gila adalah lo punya pacar
yang nggak perhatian. Sedangkan di sini gue berusaha perhatian ke lo dan lo nggak menganggap gue apapun di kehidupan
lo. Gue nggak mau merusak kesenangan lo sama pacar lo. Jadi ya sekarang, gue
kasih tau aja semuanya,” tutur Rasta panjang lebar.
Tria melihat itu. Binar di mata Rasta. Kilat emosi di mata Rasta. Perasaan di
mata Rasta.
“Sekarang lo mau gue ngapain?”
tanya Tria agak kikuk.
“Gue terlalu takut buat merusak
hubungan kalian. Gue tunggu sampai kalian putus. Gue akan tunggu sebisa gue. Kalau
nggak bisa, gue akan cari orang lain. Dan kalau masih nggak bisa, gue bakal
balik nungguin lo lagi.”
Tria hanya tersenyum
mendengarnya, tak tau harus jawab apa.
“Gue cabut duluan ya, Ri. Makasih
banyak ya,” Rasta tersenyum dan segera bergegas meninggalkan restoran. Entah kenapa.
Tria hanya tersenyum sampai lama.
Kita udahan aja ya.
Knp?
Aku udah nggak kuat.. Dan dunia kamu lebih
baik diurus ketimbang aku kok.
Okelah kalau itu mau kamu. Take care ya.
Oke, makasih banyak ya.
Read. 13:23
Lihat. Memang dia tidak peduli
sama Tria. Tapi, sekarang lihat sisi baiknya.
Sekarang, aku sudah bisa membaca mata kamu....
Komentar
Posting Komentar