Sedikit (Apa Terlalu Banyak?) Pikiran di KRL



9 Juni 2017

Suatu saat ketika gue tengah teruncal-uncal di tengah KRL tujuan Tanah Abang dari Rangkasbitung.

I mean, kakiku pegal-pegal setelah berhari-hari live in di sebuah pedesaan yang mengharuskan saya jalan kaki dan bukannya ingin mengeluh atau apa. TETAPI SAYA DIOMBANG AMBING DI ATAS TRONTON. Mendingan gue berjibaku di KRL yegak. Akhirnya setelah perjuangan dengan jalanan yang rusak selama beberapa jam akhirnya gue diturunkan di Rangkasbitung. Bukan di stasiun tetapi di tengah alun-alun. Gue udah hampir mengurungkan niat tetapi didorong oleh rasa malu dan tidak ingin kembali mual-mual, maka gue bersama tiga teman lainnya mencegat angkot dan menanyakan, “BAPAK INI LEWAT STASYEN RANGKAS GAK?” 

Untungnya bapak angkot merah ini memang melewati Stasiun Rangkasbitung. Dan sampai di stasiun ketika sudah ada kereta yang menunggu. Akhirnya gue terbirit-birit membeli tiket dan naik ke kereta. Dan ini pengalaman gue yang pertama naik KRL di daerah sejauh ini. Sebenernya udah sering menjadi penumpang KRL Cuma ini kan dari daerah Lebak yang notabene kalau naik tronton dari kampus sudah dua jam lebih sendiri. Dan ini langsung ke Palmerah yang udah dekat ke rumah. 

Berstasiun-stasiun di lalui dan gue melewati banyak stasiun, Citeras... Maja... Daru... Tenjo... (entah namanya unik aja), Serpong... jurangmangu.. dan sampailah gue di perjalanan Pondok Ranji menuju Kebayoran. 

Btw, mba-mba narator KRL kalo sebutin stasiun Kebayoran kocak.

Stasiun... KEBHAYORAN. Dengan nada menukik ceria di akhir.

Ya.

Gimana ya, dari Pondok Ranji ke Kebayoran ini merupakan perjalanan yang cukup jauh. Mulai melewati rangkaian perumahan di Bintaro, proyek-proyek, dan tiba di sebuah daerah yang terkenal dengan pemakamannya. Bukannya takut dengan pemakamannya, Cuma malas teringat dengan kenangannya. Seseorang tinggal di dekat situ.

Gue masih ingat jalan ke rumahnya

Jalan ke tempat biasa kita buat jalan-jalan

Gue masih ingat kalau kadang kita suka berjalan-jalan dengan mobil gue atau mobil dia

Gue masih ingat ada tanjakan yang agak nanjak di dekat rumahnya tempat dia belajar mobil

Bahkan gue masih ingat bau rumahnya

Salahkan gue yang susah lupa (tapi materi buat uas kemaren aja udah lupa pret)

Atau gue yang menyalahkan diri sendiri (tapi kalo kerjaan orang salah langsung dimarahin)

Tetapi memang semuanya butuh waktu

Gue sudah melupakan dan memaafkan dan (berharap) dimaafkan

Tetapi kalau lewat situ

Kadang teringat

Dan suka ada rasa cekit-cekit sedikit di perut

Sakit

Perih

Tak nyaman
 
Tetapi itulah risiko

Ga ada salahnya kita mencoba dengan orang yang baru

Cuma gue terlalu malas, mungkin

Banyak orang lain yang harus dibantu

Dengan cara apapun 

Tak hanya dengan waktu

Tetapi dengan perasaan

Atau bahkan dengan materi

Kita rela melakukannya

Karena kita merasa dia penting

Mungkin mereka tak tau

Tapi kita selalu menyelipkan dia di undangan jalan yang pertama

Atau doa di usai salat (ya Allah kadang yang inget di-doain aja Cuma orang tua aja aduh maafkan)

Yang di mana gue selalu berucap “ya Allah, sayangi orang-orang yang hamba sayangi,”

Mungkin gue lupa memikirkan nama lo di antara banyak orang-orang yang penting di hidup gue

Atau mungkin secara tak langsung terselip 

Karena sudah ada di bawah sadar

Karena pikiran kita sudah menganggap dia penting

Tapi entahlah, aku sudah tak terlalu kepikiran tentang kealpaan siapapun dia
 
Karena kehadiran diri tak jauh lebih penting dari kehadiran doa


Selamat puasa gengs. Aku lapar. Gatau kenapa tiba-tiba nulis kaya gini. He he.
Bhay

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Topik Nggak Penting Tapi Penting: Mini Heart Attack

Emangnya Cinta Butuh Alasan?

Teman-Teman Gahul